Sering kali kita mengira bahwa burnout terjadi karena kita terlalu sibuk atau terlalu banyak pekerjaan. Padahal, kenyataannya bukan hanya soal jumlah aktivitas, melainkan juga tentang bagaimana cara kita mengatur energi dan waktu istirahat. Banyak orang terus bekerja tanpa benar-benar berhenti, sehingga tubuh dan pikiran tidak punya kesempatan untuk pulih.
Istirahat bukan sekadar rebahan sambil main HP atau nonton
serial berjam-jam. Itu mungkin terasa menyenangkan, tapi sering kali tidak
memberi efek penyegaran yang nyata. Inilah yang disebut passive rest,
bentuk istirahat yang tidak selalu efektif. Sebaliknya, ada active rest—seperti
jalan santai, menggambar, atau bercocok tanam—yang secara aktif memulihkan
energi mental.
Selain itu, penting juga untuk mengenali sinyal tubuh sejak
dini. Jika kamu mulai merasa mudah marah, tidak termotivasi, atau bahkan
tugas-tugas kecil terasa berat, itu bisa jadi tanda bahwa kamu sedang menuju
burnout. Jangan tunggu sampai tubuh benar-benar “ambruk” untuk mulai mengatur
ulang ritme kerja dan istirahatmu.
Cobalah menyusun jadwal kerja yang realistis, diselingi
dengan jeda singkat tiap 1–2 jam. Gunakan waktu jeda untuk aktivitas yang
berbeda dari pekerjaanmu, seperti membuat teh, berbicara dengan teman, atau
sekadar menatap langit dari jendela. Variasi ini memberi otak kesempatan untuk
“bernapas” dan memulihkan fokus.
Dengan memahami bahwa burnout bukan hanya karena pekerjaan
yang banyak, tapi juga karena cara istirahat yang salah, kamu bisa mengatur
ulang cara hidupmu secara lebih sehat. Ingat, istirahat yang berkualitas adalah
bagian dari produktivitas, bukan pelarian dari tanggung jawab.
Komentar
Posting Komentar